Archive | January 2013

Gunung Kidul Yogyakarta (bagian 1)

Perjalanan diawali dari Serpong jam 13.30 hari Sabtu, 22 Desember 2012. Targetnya sampai di Sukamandi sekitar jam 16.00 dan setelah istirahat sebentar dilanjutkan ke Purwokerto. Tak terduga, hari itu rupanya Jakarta dikepung macet. Tol Cikunir sudah macet, tol Cikampek juga macet. Alhasil, baru jam 21.30 Sukamandi tercapai. Rencana berubah: nginap di Sukamandi semalam. Perjalanan dilanjutkan jam 5 pagi esoknya. Lumayan lancar, sekitar jam 10.30 sudah sampai di Purwokerto.

ImageImage

Beda bagasi APV antara berangkat dari Serpong (kiri) dan balik ke Serpong (kanan).

Di kota kelahiran, istirahat total dua hari menjadi agenda utama. Sebagai persiapan ke Yogya, kami mampir ke pabrik jenang jaket yang berlokasi di Mersi. Penasaran dengan dapur jenang, kami mencoba untuk turut berpartisipasi membuat jenang. Lumayan berat juga.

Image
Aduk terus ……

Hari selasa, 25 Desember 2012 ditemani Mbah Kakung, APV meluncur ke Yogya via jalur Selatan. Jam 10.00 istirahat sejenak diisi dengan menu sate Ambal: sate ayam kampung berbalut madu dan sambel tempe kedelai. Wuih…. gurihnya…. hanya menghabiskan sekitar 80 ribu rupiah untuk 6 orang. Udah maknyus, murah lagi……. Perjalanan dilanjutkan dan akhirnya nyampe di rumah mBah Buyut Bantul. Hidangan makan siang tetap disantap meskipun perut belum mencerna seluruh sate Ambal. Silaturahmi ke beberapa keluarga menjadi ritual rutin: mBah Jimin, Budhe Endah dan berakhir di Nagatirta.

Image

Mbah Buyut ……

Esoknya, Gunung Kidul yang jadi tujuan. Mbah Kakung ditukar dengan Dela (keponakan yang tinggal di Nagatirta). Jalan ringroad utara dilalui. Terima kasih pada semua yang telah memandu perjalanan via facebook. Di sekitar Pathuk kembali bingung. Kali ini Pak Polisi yang membantu arah. Sekitar jam 9, romobongan memasuki Gua Rancang (gua yang digunakan sebagai markas untuk merancang perlawanan terhadap Belanda). Tidak terlalu spesial, namun lumayan untuk menambah wawasan para junior. Sepenggal kalimat yang terukir di dinding gua “Ngayogyakarta menjadi bagian NKRI” menjadi background jepretan foto.

ImageImage

Sekitar satu jam kemudian, APV kembali bergerak. Kali ini ke air terjun Sri Gethuk. Agak sedikit kecewa, informasi dari internet: pengunjung dapat turun ke lokasi air terjun dengan menuruni tali (atau kerennya repelling). Namun ternyata, wisatawan tidak punya pilihan lain kecuali naik perahu (5 ribu per orang). Mungkin juga karena cuaca habis hujan, sehingga alternatif jalan kaki ke air terjun sulit dilalui. Setelah menjelajah sekitar 300 m, perahu merapat di lokasi air terjun. Lumayan: air segar dan jernih, pemandangan juga asri. Puas mandi, air terjun ditinggalkan. Kali ini tidak naik perahu, tapi nyemplung di kali Oya. Warna air kecoklatan akibat banjir tidak menghalangi nyali untuk berenang ria. Dengan pelampung di badan dan dipandu dua orang, sungai Oya ditelusuri.

ImageImageImageImage

Image
Di sepanjang kali Oya

Waktu kuliner siang tiba. Sesuai rencana, kami mencari rumah makan Sega Abang. Ancer-ancer agak mudah: keluar dari Wonosari dan ambil arah Timur. Sesekali kami bertanya pada penduduk sekitar. Dan praktis mereka semua mengetahui lokasi tersebut. Benar saja, persis sebelum jembatan di sisi kanan jalan, ada rumah makan “Pari Gogo”. Tadinya sempat ragu ternyata “sega abang” bukan nama rumah makan, namun menggambarkan nasi merah. Setelah dapat tempat, kami duduk. Sistem paket segera dihidangkan. Menu yang terhidang sangat istimewa dan sensasional: sega abang, enthung jati, belalang, jeroan bacem, sayur tempe lombok ijo, iwak wader goreng tepung, daging, ayam goreng, dll. Hampir semua berasa manis. Ditambah minuman kelapa muda, menu menjadi luar biasa. Setelah dihitung, harus keluar kocek 180 ribu (untuk 6 orang). Meskipun cara menghidangkan relatif tradisional, namun harga cenderung nasional. Entah benar entah tidak, harga plat B dan plat AB konon berbeda.

P1080451_compP1080455_comp

Menu sega abang di “Pari Gogo” dan sisa-sisa santapan

Setelah kenyang, APV kembali bergerak. Tertarik dengan info tukang parkir, Goa Kali Suci menjadi target. Kembali mengambil jalan ke rah Wonosari, jarak tidak terlalu jauh dari Pari Gogo. Namun sayang, karena hujan di malam sebelunya, Goa Kali Suci tidak bisa dijelajah. Apa boleh buat, target lama menjadi tujuan berikutnya: Goa Pindul. Begitu mengambil belokan, ojek motor langsung ngejar dan mengantar kami. Sebenarnya kami menolak bantuan ojek, tapi karena ngotot sambil mengatakan ”Gratis kok Pak”, oke-lah. Sampai di parkir, ojek tsb masih mengawal. Bahkan sampai turun dan membeli tiket, ojek tersebut masih setia membantu. Sebenarnya ojek tersebut sama sekali tidak memungut bayaran, tapi karena kami merasa terbantu banyak, maka 5000  perak berpindah tangan. Entah cukup ataupun mungkin terlalu sedikit, yang jelas sang ojek sangat berterima kasih.

Penelusuran Goa Pindul dimulai dengan jalan kaki sekitar 5 menit. Dengan perlengkapan jaket pelampung dan ban, penjelajahan dimulai. Pemandu sangat wellcome dan menjelaskan semua tentang isi goa. Berbagai bentuk stalagtit benar-benar mempesona. Sayang, jarak antara grup pengunjung dengan grup berikutnya sangat berdekatan, sehingga suara para pemandu saling bersaing.

P1080467_compIMG00646-20121226-1548_comp

IMG00662-20121226-1614_compIMG00664-20121226-1616_comp

Suasana ceria di Goa Pindul

P1080510_comp

Kegelapan di Goa Pindul

Perjalanan kembali dilanjutkan dengan silaturahmi ke mBah Harni di Nglipar. Setelah mutar-mutar tersesat di Wonosari, akhirnya sampai di Nglipar sekitar maghrib. Esok paginya, silaturahmi kembali dilanjutkan ke Budhe Sumi dan Pakdhe Yudi. Sarapan tradisional kembali terhidangkan: enthung jati dan sayur tempe lombok ijo. Bener-bener maknyus.

Hari ke-dua…….. (bersambung)…… [ click alamat berikut]

Gunung Kidul Yogyakarta (bagian 2)